Menjemput Bahagia dengan Ikhlas

Tiga belas tahun yang lalu kamu adalah bocah ingusan yang selalu mengejekku. Mengatakan bahwa diriku adalah si cengeng dan kau adalah raja. Raja yang sangat mempesona karena begitu berkarisma.

Aku masih ingat ketika kamu selalu menjahiliku. Aku tak habis pikir dengan semua caramu yang selalu mampu membuatku menjadi seseorang yang cengeng di hadapanmu. Selalu ada cara yang kau perbuat untuk menggodaku bahkan terkadang sampai mengejekku.

"Ayo sini ambil bukunya kalau berani." Katamu sambil mengacungkan buku catatanku. Aku berusaha mengambilnya namun selalu saja gagal. Postur tubuhmu yang lebih tinggi dariku mampu menjadikanmu selalu unggul daripada diriku.

Aku hanya bisa menangis setelah berusaha sebisaku namun tak pernah membuahkan hasil. Setelah melihatku menangis kamu pun akan sukarela mengembalikan bukuku. "Dasar cengeng gitu aja nangis." Katamu sambil memberikan buku itu kepadaku.

Aku tak membalas ucapannya. Tangisku pun mulai mereda setelah aku dapat mengatur emosiku. Kedua telapak tanganku mencoba menghapus sisa-sisa air mata yang sempat terjatuh. Namun aku tersentak ketika ibu jari tanganmu mencoba membantuku menghapus air mata itu.


"Ga usah nangis. Jangan jadi perempuan cengeng. Meski pun kamu perempuan, kamu harus kuat, berani dan juga mandiri. Kamu harus berusaha menyelesaikan masalahmu dengan aksi bukan dengan tangis. Karena air mata hanyalah menjadi senjata terakhir yang boleh kamu pakai."


Aku hanya diam. Mencoba mencerna semua kata yang terlontar dari mulutmu. Namun setelah tiga detik berlalu setelah kamu mengucapkan semua kata-kata itu, kamu mengajakku pulang. "Yaudah yuk pulang?" Katamu yang dibalas anggukan olehku.


Tapi kini, Sena kecil yang selalu membuatku menangis sudah tumbuh menjadi mahasiswa salah satu Universitas ternama di negeri ini yang sangat pintar. Namamu selalu diberitakan diberbagai media karena kecerdasanmu itu.


Aku tak kaget ketika pertama kali mendengar banyak orang-orang yang membicarakan tentang bakatmu yang sangat luar biasa. Aku tahu kamu memang cerdas meskipun kamu punya sifat jahil dalam dirimu. Semasa aku masih satu sekolah denganmu aku tahu bahwa kamu selalu diikut sertakan oleh sekolah dalam ajang perlombaan antar sekolah. Bahkan kamu pun sering menjuarai berbagai olimpiade terutama dalam bidang matematika.


Aku juga tahu bahwa kamu sangat menggilai pelajaran itu. Pelajaran yang tidak disukai oleh kebanyakan orang termasuk dengan diriku. Aku selalu iri ketika melihatmu selalu bisa mengerjakan semua soal yang diberikan oleh guru. Dan terkadang kamu pun yang mengajarkan aku dan murid-murid lain dengan cuma-cuma apabila kami belum mengerti dengan apa yang dijelaskan oleh guru tadi.


Aku memang kagum kepadamu dari dulu. Meski pun kamu selalu membuatku menangis, aku tetap mengagumi sosokmu. Aku merasa kehilangan ketika kemudian kamu memutuskan untuk melanjutkan sekolah yang berada  jauh dari kota kita berada.


Aku akan tetap mengingat ucapanmu sembilan tahun lalu. Ucapan terakhir sebelum kamu pergi jauh meninggalkanku. "Dina, sekarang kamu udah besar dan sebentar lagi masuk SMP. Kamu gak boleh cengeng lagi dan harus tetap semangat melanjutkan sekolah untuk masa depanmu nanti. Jangan rindu aku ya hehe. Kan nanti gak bakalan ada yang jailin kamu lagi disini." Katamu padaku. Dan setelah itu kamu mengacak-acak rambutku gemas.


"Iya kamu juga belajar yang bener ya. Terus banggain aku dengan prestasimu. Ada juga kamu yang bakalan rindu aku. Kamu bakalan rindu sama anak cengeng yang selalu kamu bikin nangis." Aku menjulurkan lidahku menggoda Sena.


Dia hanya tersenyum tulus menatap tepat kedalam manik mataku. "Aku pamit ya. Jaga diri kamu baik-baik dan inget jangan cengeng. Suatu hari nanti aku pasti akan datang kembali ke tempat ini dan semoga saja anak cengeng yang selalu aku buat nangis udah jadi orang yang dewasa, gak cengeng lagi."


Aku menatap punggungnya sampai hilang dari pandangan mataku. Entah mengapa aku merasa ada dinding hatiku yang runtuh seiring kepergiannya yang semakin menjauh.


Sejak saat itu aku tak pernah lagi berhubungan dengannya. Kami putus kontak dan tak pernah bertukar kabar sama sekali karena kami memang tak pernah berkomunikasi lewat dunia maya. Selama ini kami lebih sering menghabiskan waktu secara nyata, bertatap muka langsung tanpa perantara.


Selama beberapa tahun setelah kepergianmu aku selalu dihampiri rasa rindu. Rasa rindu yang mampu membuatku mengenang memori yang sempat tercipta dengan dirimu.


Aku merasa kehilangan sosok sahabat sekaligus kakak disaat yang bersamaan. Namun semakin hari rasa sebagai sahabatku terhadapmu seolah-olah berubah. Berfragmentasi menjadi suatu perasaan baru. Aku tak lagi memandangmu sebagai sahabatku, tapi sebagai seseorang yang ingin aku miliki.


Dalam do'aku selalu terselip namamu. Aku berharap bisa bertemu kembali denganmu. Menghabiskan waktu bersama denganmu seperti dulu. Kini aku sudah berubah menjadi Dina yang kau harapkan. Dina yang tak lagi cengeng menghadapi berbagai persoalan. Dan juga Dina yang selalu merindukanmu.


Benar katamu dulu bahwa aku tak boleh rindu padamu. Waktu itu aku menyangkal dan berbalik mengatakan bahwa kamulah yang nanti akan merindukanku. Nyatanya perkataanku salah dan kamu yang benar. Disini, ditempat ini aku selalu merindukanmu. Berharap bahwa kamu akan datang kembali ke tempat ini dan menemukan Dina yang sudah dewasa.


Apakah kamu lupa dengan semua perkataan yang pernah kau ucapkan dulu padaku? Apakah kamu tak ingin kembali ke tempat ini? Tak ingin memastikan anak cengeng yang kini telah berubah menjadi seseorang yang dewasa?


Ah ya aku lupa bahwa kau pasti selalu sibuk dengan tugas kuliahmu disana dan terlebih harus sibuk mengisi seminar-seminarmu karena kini kamu menjadi salah satu motivator termuda di negeri ini. Bahkan tak jarang aku melihatmu di berbagai acara televisi.


Tapi haruskah aku menunggu lebih lama lagi tanpa ada sesuatu yang menjamin bahwa dirimu kan kembali? Setidaknya aku hanya ingin melihatmu meski untuk terakhir kali. Aku akan mencoba mengikhlaskanmu jika memang kau tak kan pernah kembali. Beri aku sedikit kabar agar aku bisa lebih sabar.



Perlahan namun pasti setelah penantian dalam mengharapmu kembali aku mulai lelah sendiri. Aku lelah merindu seorang diri. Aku lelah hanya bertemankan sepi.


Sudah saatnya aku pergi dan tak mengharapkanmu kan kembali temaniku disini. Bagai punuk merindukan rembulan. Sebuah untaian kata yang menggambarkan diriku saat ini.


Aku harus melangkah walau susah. Aku harus bangkit walau terasa lebih sakit. Aku harus kuat karena memang itu yang harus ku perbuat.


***


Ponselku berkerlap-kerlip menandakan ada sebuah notifikasi yang masuk. Dengan enggan aku meraih ponsel yang terletak di atas nakas disamping tempat tidurku.


Aku membacanya sekilas. Oh hanya sebuah email  gumamku dalam hati. Aku kemudian membaringkan tubuhku kembali diatas tempat tidur. Melihat langit-langit kamarku, memikirkan seseorang yang selama ini telah mendominasi hati dan pikiranku.


Sena kapan kamu akan datang? Kapan kamu akan ngejek aku si cengeng lagi? Aku tak merasa keberatan dengan sebutan itu. Meskipun kamu sering menjahiliku dan kerap membuatku menangis, tapi kamu tak pernah membiarkan orang lain membuatku menangis. Seolah hanya kamulah yang berkewajiban melakukannya.


Kamu tak pernah berubah ya Sen. Tetap jadi orang yang selalu bisa membuatku menangis sekaligus bahagia dalam satu waktu. Sampai saat ini, kamu selalu membuatku menangis karena rasa rinduku padamu yang tak pernah menipis. Kamu juga selalu membuatku bahagia setiap kali aku melihatmu membuatku bangga.


Aku mencoba menutup mata dan mengembuskan napas berat. Aku berjanji bahwa aku tak akan lagi mengharapkanmu untuk kembali.


Karena penasaran akhirnya aku pun kembali memungut ponselku yang tadi dibiarkan tergeletak disamping kananku. Aku membuka notifikasi email yang masuk tadi. Ah paling juga dari editorku yang mengingatkan bahwa aku harus segera mengirimkan naskahku pada mereka pikirku.


Ya keseharianku selain kuliah juga aku berprofesi sebagai penulis amatiran. Awalnya hanya sekadar hobi tapi akhirnya ada penerbit yang melirik naskahku. Tentu saja aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.


Namun aku terbelalak saat mataku melihat siapa pengirim email itu. Pratama Sena Prasetya. Sebuah nama yang aku tunggu-tunggu kabarnya sedari dulu. Tanganku gemetar dan terasa air mataku pun mulai jatuh. Menandakan bahwa ada bagian hatiku yang ikut luruh.


Dan untuk kesekian kalinya aku menangis lagi. Tapi kini bukan tangisan karena rindu yang tak terobati melainkan karena bahagia yang tak terperi.


Dengan pandanganku yang berbaur bersama air mata aku lihat deretan kata itu. Sesuatu yang aku tunggu-tunggu selama ini. Sebuah pesan yang menandakan kabarmu baik-baik saja. Meski sering mengetahui bahwa kabarmu baik-baik saja dari televisi namun rasanya berbeda dengan kamu yang menginformasikannya langsung seorang diri.


Hi Din, apa kabar? Ku harap kabarmu baik seperti kabarku saat ini. Kemana saja? Kenapa tak pernah menghubungiku? Ah ya, jadi seorang penulis sepertimu pasti banyak menghabiskan waktu hingga tak sempat untuk memberi kabar padaku. Kamu masih tinggal di Pekanbaru kan Din? Minggu depan aku ada seminar disana. Bisakah kita bertemu Din? Waktu dan tempatnya nanti ku beri tahu lagi. See you😊


Aku tak percaya setelah membaca pesan itu. Apa benar Sena ingin menemuiku? Bagaimana dia bisa tahu alamat emailku dan tahu bahwa aku seorang penulis? Pikiranku terus berspekulasi memikirkan hal itu sementara tanganku mengetikkan balasan untuknya.


Syukurlah kalau begitu. Kabarku juga baik. Ah tidak juga, malahan mungkin kamu yang lebih sibuk daripadaku. Iya aku masih disini dan tak berniat pindah dari dulu. Kabari saja aku jika kamu sudah menemukan waktu dan tempat yang tepat😊


Ada kehangatan yang menjalar disekujur tubuhku. Penantian yang selama ini aku kira sia-sia kini berbalas. Tapi mengapa hidup sedramatis ini? Disaat aku ingin mengikhlaskan tapi ada sebuah harapan yang mengembalikanku kedalam pijakan awal.


Diri, maaf aku sudah tidak menepati janji. Maaf karena aku tak bisa membohongi hati bahwa aku masih ingin melihatnya kembali.


***


Seminggu berlalu dari pesan dalam email itu. Sekarang aku disini, ditempat yang telah Sena tentukan untuk bertemu denganku. Kakiku melangkah ragu ke dalam sebuah cafe bernuansa abu-abu. Seperti perasaanku, abu-abu batinku.


Aku mencoba menetralkan degup jantungku, ku lihat seseorang sedang melambaikan tangannya ke arahku. Di sudut ruangan disebelah dinding kaca seseorang itu tersenyum terlihat gembira. Aku terpana, aku tak kuasa melihatnya begitu berkharisma.


Tak nampak kelakuan jahil dalam mukanya. Kontur wajahnya terlihat tegas terasa kontras dengan postur tubuhnya. Berkharisma. Kesan pertama yang ku tangkap dalam sosokmu saat itu.


"Hi!" Sapamu padaku setelah melihat diriku memasuki cafe itu. Lalu aku pun membalas sapaanmu dan melangkah menuju bangku dihadapanmu.


Canggung memang. Kalian bisa membayangkan bagaimana rasanya bertemu kembali dengan seseorang yang ingin kalian temui setelah sekian lamanya terpisahkan oleh jarak dan waktu.


Namun saat-saat berikutnya suasana menjadi lebih baik karena memang kamu  pintar mencairkan suasana. Kamu yang mendominasi percakapan dan aku yang hanya terpana melihat setiap kata yang kamu ucapkan. Aku mencoba tak ingin berkedip, karena aku tahu saat aku melakukan itu sesuatu akan jatuh membasahi pipiku.


Aku tersentak ketika tiba-tiba kamu berhenti berbicara dan menatapku serius. "Kamu kenapa kok diem aja?" Tanyamu padaku. Entah mengapa satu kalimat tanya itu mampu membuat dinding pertahananku luruh. Aku tak bisa menahannya agar tak terus jatuh.


Sedetik berikutnya kamu pindah kesamping kananku dan memeluk tubuhku. Menggosokkan tanganmu di belakang punggungku berusaha menenangkan diriku. Aku merasakan kehangatan menyengat seluruh sel-sel yang ada di dalam tubuhku. Semua emosi beradu satu. Kerinduan yang tertahan selama bertahun-tahun itu kini luruh dalam dekapanmu.


Aku menenggelamkan wajahku kedalam dada bidangmu. Berharap kamu tahu bahwa aku sangat merindukanmu. Setelah merasa lebih tenang, aku mencoba mengatakan apa yang aku rasakan padamu.


"Aku rindu." Hanya dua kata tapi mampu mewakili semua perasaanku. Aku merasakan kamu mengangguk diatas puncak kepalaku dan mengatakan sesuatu yang mampu membuatku kembali membasahi bajumu dengan air mataku. "Aku juga." Katamu.


Setelah beberapa waktu berlalu kami pun saling melepas pelukan. Aku sadar bahwa kami sedang berada di tempat umum. Aku mencoba menghapus sisa air mataku dan kamu turut membantu. Menempelkan kedua ibu jari tanganmu untuk menghapus air mata dari wajahku.


***


Kicau burung memenuhi indra pendengaranku. Angin sepoi membelai lembut helaian rambutku. Inspirasi kian memenuhi pikiranku. Kata-kata terus mendobrak memaksa diriku untuk mengeluarkannya. Disini, di tempat ini diriku seolah terlahir kembali. Kini aku sedang mengetik naskah untuk novelku yang baru.


Aku merasa senang saat nama Sena muncul dilayar ponselku. Tanpa ragu aku langsung mengangkat telpon yang masuk itu. Menjawab sapaanmu dan berbincang tentang hal-hal yang terjadi dalam seharian ini.


"Hi! Sedang apa?" Sapamu mengawali percakapan.


"Hi! Biasa aku sedang merampungkan naskah novelku yang baru. Kamu sendiri sedang apa?" Balasku sambil memainkan ujung rambutku.


"Oh lagi bikin novel baru." Aku mengangguk padahal hal ini tak berarti apapun. Karena Sena tak akan melihat tindakanku.


"Aku lagi istirahat baru aja selesai dari seminar. Din aku punya berita bagus buatmu."


"Oh. Hemm berita bagus apa?" Tanyaku yang tak bisa menahan rasa penasaran dalam nada suaraku.


Aku mendengar kamu terkikik geli diseberang sana. "Kok malah ketawa? Aku kan nanya berita bagus apa tapi malah ketawa. Menyebalkan." Nadaku sedikit kesal karena mendengarnya malah tertawa dan bahkan tidak menjawab pertanyaanku.


"Hehe iya iya yaudah jangan cemberut gitu." Aku tak tahu mengapa dia bisa mengetahui apa yang sedang aku lakukan. Ah ya aku lupa, berbicara dengan seseorang yang kamu suka terkadang bisa membuatmu terlihat bodoh. Semua orang pun tahu jika mendengar seseorang berkata dengan nada seperti itu kemungkinan besarnya orang tersebut mengatakannya sambil cemberut.


Aku hanya mendesis pelan merespons ucapannya. Lalu kamu pun kembali melanjutkan ucapanmu.


"Berita bagusnya adalah aku akan kembali tinggal di Pekanbaru. Tempat dimana aku dilahirkan. Tapi aku akan tinggal sendiri. Orang tuaku akan tetap tinggal di Jakarta."


Aku berteriak kegirangan tak percaya dengan apa yang diucapkannya barusan. "Kamu serius?" Namun aku teringat ucapan sebelumnya bahwa dia tidak akan tinggal bersama kedua orang tuanya disini. "Ah ya tadi kau bilang kau akan tinggal disini sendiri? Pasti berat memang. Aku pun tak bisa membayangkan ketika harus pergi meninggalkan kedua orang tuaku.

"Iya serius Din. Aku ingin belajar mandiri, mengurus segala sesuatunya sendiri. Kau kan tahu meskipun kini aku sering meninggalkan rumah karena jadwal seminarku tapi segala sesuatunya selalu disiapkan oleh orang tuaku. Karena itu sekarang aku ingin belajar segalanya serba sendiri."

"Ah ya. Aku senang mendengarnya. Semoga kemudahan selalu menyertaimu."

Kemudian Sena pun mengganti topik pembicaraan. Membicarakan hal-hal yang tak penting tapi mampu membuatku senyum-senyum sendiri. Memang akhir-akhir ini setelah pertemuanku dengannya di kafe waktu itu, kami sering saling sapa lewat dunia maya. Sesuatu yang tak pernah kami lakukan saat dulu.

Waktu terus berlanjut dan kehidupanku pun kian berubah. Aku menjadi seseorang yang periang akhir-akhir ini. Kalian tentu tahu alasannya. Ya Sena kini tinggal di Pekanbaru. Kota dimana penuh dengan kenangan masa kecil yang mampu membuat rindu.

Penantianku pun berujung indah. Penantianku yang terasa lelah kini terbayar sudah. Kita memang tidak tahu hari esok akan seperti apa. Tugas kita hanya harus berbuat baik hari ini. Mengusahakan hari ini lebih baik dari hari kemarin.

Hidup terkadang memang sedramatis itu. Namun itulah konsekuensinya. Ungkapan bahwa jodoh gak bakalan kemana itu memang benar. Kuncinya hanya satu yaitu teruslah bersabar.


***

Fyi cerita ini udah sejak lama ada di draf namun baru sekarang di publish :)

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masa terakhir dengan status sebagai kelas XI

Perihal Maaf dan Terima kasih

Beri aku ruang untuk sendiri