Terima kasih Lizzi
Aku tahu setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Seperti saat ini, pertemuan itu sudah terencana dengan baik dan begitupun dengan perpisahannya. Aku hanya diberi waktu tiga tahun untuk mengenal teman-teman baruku.
Tapi mengapa baru akhir-akhir ini, disisa bulan masa itu kita lebih dekat? Hidup terkadang membingungkan. Memberi kebahagiaan dan kesedihan diwaktu yang bersamaan.
"Ra. Hei, kenapa ngelamun aja sih. Mikirin apa? "
Aku terseret kembali ke dunia nyata. Dunia yang sebentar lagi akan berubah setelah aku nyaman tinggal didalamnya.
"Ah eng-enggak kok. Cuma lagi mikir aja. "
Dari ekor mataku, aku melihat Lizzi kini menggeser tubuhnya tepat menghadapku. "Mikirin apa? Gebetan? Atau mantan? "
"Ha-hhh? Apaan sih." Aku memutar kedua bola mataku malas. Selalu saja seperti itu.
Apa orang-orang tidak capek apa selalu memikirkan hanya satu orang yang kadang tidak bermanfaat. Bukankah lebih baik memikirkan bagaimana caranya menciptakan momen berharga bersama teman-teman sebelum akhirnya perpisahan itu tiba? Sebelum akhirnya masing-masing sibuk memikirkan akan melanjutkan sekolah dimana. Karena bukankah masa SMP tidak akan terulang lagi?
"Terus mikirin apa dong? "
Aku mengembuskan nafas berat sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Lizzi. "Zi, ujian berapa bulan lagi? "
Lizzi mengerutkan dahinya bingung. Mungkin dia tidak menyangka bukannya menjawab pertanyaannya tapi aku malah kembali bertanya padanya. "Kurang lebih tiga bulan lagi kan? "
Aku mengangguk.
"Terus kenapa dengan ujian? Ujiannya diundur jadi lima bulan lagi? Baguslah aku juga belum siap dengan semuanya. "
"Apaan sih. Gak, ujiannya tetep bulan Mei. Tiga bulan lagi dari sekarang. "
"Ya terus kenapa mikirin ujian? Kamu belum siap? "
Aku menggeleng.
"Lha terus kenapa? "
"Kalau udah beres ujian, kita udah ga boleh dateng lagi ke sekolah kan? "
Lizzi mengangguk. "Iya. "
"Itu tandanya kita juga gak akan bisa ketemu lagi setiap hari kan? "
Lizzi kembali mengangguk. Tapi kali ini sepertinya dia mulai mengerti arah pembicaraanku.
Lizzi adalah satu-satunya teman terdekatku. Bukan aku tak percaya pada yang lain, hanya saja aku lebih nyaman bercerita semuanya kepada dia. Dan ya dia adalah sahabatku selama aku menghabiskan waktu tiga tahun di SMP ini.
Aku menunduk tak bisa membayangkan apabila nanti harus kembali beradaptasi dengan lingkungan baru. Dengan sekolah baru dan dengan kehidupan baru.
"Ra. Aku tau kembali beradaptasi dengan lingkungan baru adalah sesuatu yang cukup sulit bagi kamu. Tapi bukan berarti kamu ga bisa kan? Buktinya sekarang kamu bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Kamu sudah bisa cukup terbuka dengan orang lain. Meski hanya kepadaku. Tapi semua itu cukup membuat kamu tidak selalu mengasingkan diri dari keramaian. "
Aku mendongak lalu mendapati sorot teduh milik Lizzi. Iris kecokelatan itu tak pernah berubah dari pertama kali aku mengenalnya. Dia tetap menjadi Lizzi yang aku kenal pertama kali. Dan dia adalah orang yang merubah diriku dari yang dulu menjadi sekarang.
Ya, aku yang dulu adalah seorang yang tertutup tentang kehidupanku. Aku tak pernah benar-benar memiliki seorang sahabat sebelumnya. Mungkin kelihatannya aneh, karena biasanya seorang anak perempuan selalu punya banyak teman disekelilingnya. Tapi hal itu berbeda denganku.
Semenjak kepergian Ayah, aku jadi menutup diri. Tak ingin lagi percaya pada orang lain. Aku takut kembali ditinggalkan. Meski aku tahu kalau saat itu ayah pergi bukan karena keinginannya, tapi karena takdir sudah menentukan bahwa ayah harus pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Dan keaadaan itu yang perlahan mengubah pribadiku. Tapi setelah bertemu dan mengenal Lizzi, aku merasa kalau aku kembali pada pribadiku yang dulu. Setidaknya dia telah membuatku tidak terlalu takut untuk menghadapi kerasnya kehidupan.
Setelah beberapa detik hanya hening yang tercipta, akhirnya aku kembali bersuara.
"Tapi kamu kan tau, aku selalu takut ditinggalkan. Kamu juga tau kalau aku tidak mudah untuk bisa menerima orang baru."
"Ra, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Dan meski nanti perpisahan itu telah tiba, mungkin kita semua, aku dan kamu mungkin memang terpisah jarak dan waktu. Tapi sekarang kan ada media sosial jadi kita bisa dengan mudah untuk berkomunikasi. Kita bisa dengan mudah saling bertukar kabar meski tanpa harus saling menemui. "
"Tapi kenapa disaat aku sudah bahagia, disaat aku sudah mulai terbiasa dengan lingkungan baru, takdir harus memisahkan kita semua? "
"Pertemuan dan perpisahan kita sudah ditentukan Ra. Waktu terus berjalan sekalipun kamu berdo'a agar waktu berhenti itu tidak akan bisa. Waktu tidak akan pernah kembali. Kamu hanya harus berusaha memanfaatkan waktu yang tersisa agar tak menyesal di kemudian hari. "
Aku diam bukan karena kehabisan kata-kata, tapi karena membenarkan perkataan Lizzi seluruhnya.
Benar, aku tak bisa menghentikan waktu. Yang aku harus lakukan hanyalah memanfaatkan waktu yang tersisa sebelum perpisahan itu tiba. Sebelum aku kembali ditinggalkan dan mungkin aku juga akan meninggalkan nantinya.
"Makasih Zi, makasih karena kamu udah sabar memahamiku. Makasih karena kamu telah mengajarkan bahwa aku tak seharusnya takut akan ditinggalkan. Karena secara sadar maupun tidak aku pun akan meninggalkan nantinya. Dan makasih telah menjadi sahabat terbaik yang pernah aku punya. Semoga persahabatan kita bisa selamanya. "
Aku hampir terdorong ke belakang bila saja kakiku tak kuat untuk menopang beban tubuhku saat tiba-tiba saja Lizzi memelukku. Aku tersenyum saat kebahagiaan itu kembali mengalir dalam darahku.
Ternyata bahagia itu sederhana. Tak selalu tentang cinta, karena sahabatpun bisa membuat kita bahagia. Dan bahkan lebih membuat bahagia daripada cinta.
Setelah beberapa detik berlalu, Lizzi pun melepaskan pelukannya dariku. Dia tersenyum sebelum akhirnya memecah keheningan diantara kita berdua. "Sama-sama. Makasih juga telah mengijinkan aku menjadi seseorang yang bisa dipercaya olehmu. Oh iya kalau nanti kita tidak dipertemukan dalam sekolah yang sama, aku harap kamu tidak akan pernah melupakanku. Dan meski nanti kamu sudah punya pacar bahkan suami sekalipun kamu harus tetep inget sama aku. "
Aku terkekeh saat mendengar Lizzi mengatakan itu. "Iya iya dasar bawel. Kalo soal pacaran atau bahkan nikah itu kejauhan. Setelah lulus dari SMP aku hanya ingin fokus belajar dulu. Fokus memperbaiki diriku nanti di masa putih abu-abu. Kamu juga jangan lupain aku. "
Lalu kita pun saling mengaitkan jari kelingking masing-masing dan berjanji. "Sahabat untuk selamanya. "
Setelah itu kitapun saling tertawa. Rasanya bahagia sekali bisa memiliki sahabat yang benar-benar tulus menyayangi kita. Meski aku tak memiliki kisah cinta seperti kebanyakan siswa lainnya, tapi aku memiliki kisah persahabatan yang lebih Indah daripada itu.
Dan kini aku hanya ingin menciptakan momen yang tak akan terlupakan bersama Lizzi dan semua teman-teman sekelasku sebelum perpisahan itu tiba. Sebelum kami kembali dipisahkan. Sebelum kami menentukan nasib kami kedepannya. Sebelum kami benar-benar akan saling merindukan nantinya.
***
Tulisan ini sudah ada sejak lama di draf tapi baru kali ini aku post. Semoga bermanfaat :)
Tapi mengapa baru akhir-akhir ini, disisa bulan masa itu kita lebih dekat? Hidup terkadang membingungkan. Memberi kebahagiaan dan kesedihan diwaktu yang bersamaan.
"Ra. Hei, kenapa ngelamun aja sih. Mikirin apa? "
Aku terseret kembali ke dunia nyata. Dunia yang sebentar lagi akan berubah setelah aku nyaman tinggal didalamnya.
"Ah eng-enggak kok. Cuma lagi mikir aja. "
Dari ekor mataku, aku melihat Lizzi kini menggeser tubuhnya tepat menghadapku. "Mikirin apa? Gebetan? Atau mantan? "
"Ha-hhh? Apaan sih." Aku memutar kedua bola mataku malas. Selalu saja seperti itu.
Apa orang-orang tidak capek apa selalu memikirkan hanya satu orang yang kadang tidak bermanfaat. Bukankah lebih baik memikirkan bagaimana caranya menciptakan momen berharga bersama teman-teman sebelum akhirnya perpisahan itu tiba? Sebelum akhirnya masing-masing sibuk memikirkan akan melanjutkan sekolah dimana. Karena bukankah masa SMP tidak akan terulang lagi?
"Terus mikirin apa dong? "
Aku mengembuskan nafas berat sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Lizzi. "Zi, ujian berapa bulan lagi? "
Lizzi mengerutkan dahinya bingung. Mungkin dia tidak menyangka bukannya menjawab pertanyaannya tapi aku malah kembali bertanya padanya. "Kurang lebih tiga bulan lagi kan? "
Aku mengangguk.
"Terus kenapa dengan ujian? Ujiannya diundur jadi lima bulan lagi? Baguslah aku juga belum siap dengan semuanya. "
"Apaan sih. Gak, ujiannya tetep bulan Mei. Tiga bulan lagi dari sekarang. "
"Ya terus kenapa mikirin ujian? Kamu belum siap? "
Aku menggeleng.
"Lha terus kenapa? "
"Kalau udah beres ujian, kita udah ga boleh dateng lagi ke sekolah kan? "
Lizzi mengangguk. "Iya. "
"Itu tandanya kita juga gak akan bisa ketemu lagi setiap hari kan? "
Lizzi kembali mengangguk. Tapi kali ini sepertinya dia mulai mengerti arah pembicaraanku.
Lizzi adalah satu-satunya teman terdekatku. Bukan aku tak percaya pada yang lain, hanya saja aku lebih nyaman bercerita semuanya kepada dia. Dan ya dia adalah sahabatku selama aku menghabiskan waktu tiga tahun di SMP ini.
Aku menunduk tak bisa membayangkan apabila nanti harus kembali beradaptasi dengan lingkungan baru. Dengan sekolah baru dan dengan kehidupan baru.
"Ra. Aku tau kembali beradaptasi dengan lingkungan baru adalah sesuatu yang cukup sulit bagi kamu. Tapi bukan berarti kamu ga bisa kan? Buktinya sekarang kamu bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Kamu sudah bisa cukup terbuka dengan orang lain. Meski hanya kepadaku. Tapi semua itu cukup membuat kamu tidak selalu mengasingkan diri dari keramaian. "
Aku mendongak lalu mendapati sorot teduh milik Lizzi. Iris kecokelatan itu tak pernah berubah dari pertama kali aku mengenalnya. Dia tetap menjadi Lizzi yang aku kenal pertama kali. Dan dia adalah orang yang merubah diriku dari yang dulu menjadi sekarang.
Ya, aku yang dulu adalah seorang yang tertutup tentang kehidupanku. Aku tak pernah benar-benar memiliki seorang sahabat sebelumnya. Mungkin kelihatannya aneh, karena biasanya seorang anak perempuan selalu punya banyak teman disekelilingnya. Tapi hal itu berbeda denganku.
Semenjak kepergian Ayah, aku jadi menutup diri. Tak ingin lagi percaya pada orang lain. Aku takut kembali ditinggalkan. Meski aku tahu kalau saat itu ayah pergi bukan karena keinginannya, tapi karena takdir sudah menentukan bahwa ayah harus pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Dan keaadaan itu yang perlahan mengubah pribadiku. Tapi setelah bertemu dan mengenal Lizzi, aku merasa kalau aku kembali pada pribadiku yang dulu. Setidaknya dia telah membuatku tidak terlalu takut untuk menghadapi kerasnya kehidupan.
Setelah beberapa detik hanya hening yang tercipta, akhirnya aku kembali bersuara.
"Tapi kamu kan tau, aku selalu takut ditinggalkan. Kamu juga tau kalau aku tidak mudah untuk bisa menerima orang baru."
"Ra, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Dan meski nanti perpisahan itu telah tiba, mungkin kita semua, aku dan kamu mungkin memang terpisah jarak dan waktu. Tapi sekarang kan ada media sosial jadi kita bisa dengan mudah untuk berkomunikasi. Kita bisa dengan mudah saling bertukar kabar meski tanpa harus saling menemui. "
"Tapi kenapa disaat aku sudah bahagia, disaat aku sudah mulai terbiasa dengan lingkungan baru, takdir harus memisahkan kita semua? "
"Pertemuan dan perpisahan kita sudah ditentukan Ra. Waktu terus berjalan sekalipun kamu berdo'a agar waktu berhenti itu tidak akan bisa. Waktu tidak akan pernah kembali. Kamu hanya harus berusaha memanfaatkan waktu yang tersisa agar tak menyesal di kemudian hari. "
Aku diam bukan karena kehabisan kata-kata, tapi karena membenarkan perkataan Lizzi seluruhnya.
Benar, aku tak bisa menghentikan waktu. Yang aku harus lakukan hanyalah memanfaatkan waktu yang tersisa sebelum perpisahan itu tiba. Sebelum aku kembali ditinggalkan dan mungkin aku juga akan meninggalkan nantinya.
"Makasih Zi, makasih karena kamu udah sabar memahamiku. Makasih karena kamu telah mengajarkan bahwa aku tak seharusnya takut akan ditinggalkan. Karena secara sadar maupun tidak aku pun akan meninggalkan nantinya. Dan makasih telah menjadi sahabat terbaik yang pernah aku punya. Semoga persahabatan kita bisa selamanya. "
Aku hampir terdorong ke belakang bila saja kakiku tak kuat untuk menopang beban tubuhku saat tiba-tiba saja Lizzi memelukku. Aku tersenyum saat kebahagiaan itu kembali mengalir dalam darahku.
Ternyata bahagia itu sederhana. Tak selalu tentang cinta, karena sahabatpun bisa membuat kita bahagia. Dan bahkan lebih membuat bahagia daripada cinta.
Setelah beberapa detik berlalu, Lizzi pun melepaskan pelukannya dariku. Dia tersenyum sebelum akhirnya memecah keheningan diantara kita berdua. "Sama-sama. Makasih juga telah mengijinkan aku menjadi seseorang yang bisa dipercaya olehmu. Oh iya kalau nanti kita tidak dipertemukan dalam sekolah yang sama, aku harap kamu tidak akan pernah melupakanku. Dan meski nanti kamu sudah punya pacar bahkan suami sekalipun kamu harus tetep inget sama aku. "
Aku terkekeh saat mendengar Lizzi mengatakan itu. "Iya iya dasar bawel. Kalo soal pacaran atau bahkan nikah itu kejauhan. Setelah lulus dari SMP aku hanya ingin fokus belajar dulu. Fokus memperbaiki diriku nanti di masa putih abu-abu. Kamu juga jangan lupain aku. "
Lalu kita pun saling mengaitkan jari kelingking masing-masing dan berjanji. "Sahabat untuk selamanya. "
Setelah itu kitapun saling tertawa. Rasanya bahagia sekali bisa memiliki sahabat yang benar-benar tulus menyayangi kita. Meski aku tak memiliki kisah cinta seperti kebanyakan siswa lainnya, tapi aku memiliki kisah persahabatan yang lebih Indah daripada itu.
Dan kini aku hanya ingin menciptakan momen yang tak akan terlupakan bersama Lizzi dan semua teman-teman sekelasku sebelum perpisahan itu tiba. Sebelum kami kembali dipisahkan. Sebelum kami menentukan nasib kami kedepannya. Sebelum kami benar-benar akan saling merindukan nantinya.
***
Tulisan ini sudah ada sejak lama di draf tapi baru kali ini aku post. Semoga bermanfaat :)
Komentar
Posting Komentar